Search

Sunday, November 9, 2014

1. YITZHAK RABIN



 (1 Maret 1922 – 4 November 1995)
Yitzhak Rabin
Tak ada yang dapat menyangka, hari sabtu, 4 november itu bakal menjadi hari berdarah bagi orang Israel. Hari itu 100.000 manusia berkumpul di lapangan raja-raja Israel, tel Aviv untuk mencanangkan dukungan terhadap kebijkan perdamaian Yitzhak Rabin dengan palestina

Hari itu bakal menjadi hari bersejarah pula bagi Yigal Amir (26) karena akhirnya ia berhasil melaksanakan eksekusi mati bagi sang “Penghianat Besar”.

Sore pukul 17.45 Amir mengisi Baretta-nya dengan peluru yang telah dipersiapkan kakanya, Hagai (27). Peluru yang sudah di lubangi ujung-ujungnya dengan dibor kemudian disumpal dengan air raksa. Bila peluru biasa menembus langsung kesasaran, ujung peluru yang berlubang-lubang ini melesak begitu menyentuh sasaran, membelok-belokkan jalur larinya peluru sambil mengacak-acak, merobek daging dan tulang.

Dengan naik bus kota ia berangkat menuju lapangan Raja-raja Israel. Rabin sedang berada di podium dan Nampak amat gembira dan bahagia

Shin Bet
Sementara itu di luar pandangan khalayak, para petugas keamanan yang sibuk melaksanakan  pengamanan sang perdana menteri. Hanya saja bukti-bukti menunjukan adanya keresahan dan pertentangan intern di dalam tubuh Shin Bet, satuan elit yang bertanggung jawab atas keselamatan para petinggi Israel.

Konon itu bermula 6 bulan lalu, ketika kepalanya diganti dengan orang yang kabarnya ahli dalam masalah organisasi-organisasi ekstremis Yahudi. Toh nyatanya menurut seorang ahli pengamat urusan keamanan Israel “Shin Bet sudah bermental puas diri, ceroboh dan korup”

Bahwa bakal ada usaha pembunuhan, sebenarnya sudah di ketahui Shin Bet sebelumnya. Buktinya tiga minggu sebelum peristiwa naas itu, kepala Shin Bett mengundang para pemuka gerakan yahudi di daerah pendudukan k Tel Aviv untuk minta bantuan mereka membuat profil si calon pembunuh. Maklumlah, yang ada di kepala Shin Bet, si pembunuh pastilah orang Palestina. Tapi mereka justru menganjurkan agar Shin Bet mengarahkan penyelidikan terhadap penduduk di wilayah asli Israel sendiri, misalnya dii daerah pinggiran kota Tel Aviv, amat disayangkan, Shin Bet tak mengindahkan anjuran itu.

Untuk mengantisipasi, dilakukan penjagaan ekstra ketat, dengan mengerahkan lebih dari 1.000 polisi di lokasi. Apa lacur, jalannya nasib Rabin seolah tak dapat diibelokkan lagi, kesalahan demi kesalahan terjadi, mengantar Rabin kepada maut.

Yang pertama dan paling mendasar, Rabin tidak mau mengenakan Rompi Anti Peluru. Menurut seorang Israel yang ahli keamanan, itu akibat terlalu akrabnya Rabin dengan Kol. Bennyy Lahav, penanggung jawab keamanannya.

Selama ini sudah menjadi aturan main Shin Bet bahwa Perdana Menteri harus selalu berada dalam “kawasan steril” dengan dikelilingi paling tidak tiga sampai enam pengawal Shin Bet. Namun saat Rabin duduk di podium hari sabtu itu disebelah Peres, hanya ada dua orang petugas Shin Bet yang mengawalnya.

Kesalahan besar lain, rencana semula Rabin tiba di gedung pemda tidak jauh dari situ, turun dan keluar lewat pintuu di lantai dasar gedung itu menuju lapangan. Dengan demikian daerah yang dilalui aman dan terbuka.

Yang terjadi mobil Perdana Menteri langsung parkir disebelah podium, ia turun langsung berjalan menaiki tangga terbuka. Setelah berpidato pun ia tidak segera beranjak sebagaimana biasanya tetapi malah ikut menyanyikan lagu perdamaian.

Sementara itu 15 menit sebelum Rabin turun dari podium terjadi lagi kesalahan lain yang terbukti tak kurang fatal. Kawasan parkir dibawah podium ternyata tidak dikawal. Ketika seoorang perwira menyadari hal itu Amir telah berhasil menyusup kedalam.

Ketika acara selesai, Rabin pun turun dari podium, tanpa memeriksa lagi apakah ia dikelilingi cukup pengawal. Itu belum cukup, polisi dibawah podium ternyata belum diberitahu bahwa Rabin akan lewat, sehingga mereka belum siap membuat barikade.

Pada pukul 09.44 Rabin menuju Cadillac-nya. Amir yang sejak tadi menanti di belakang tali pembatas maju sampai jaraknya kurang dari 2M dari sasaran. Dicabutnya pistol dan ia menembak. Kepada polisi ia berteriak “Hanya Berlatih” dan bahwa pelurunya kosong, satu peluru menembus limpa, lainnya merobek-robek beberapa pembuluh darah utama didada dan saraf tulang belakang. Catatan lagu perdamaian di saku Rabin pun bersimbah darah.

Namun kesalahan terakhir telah menanti. Tim dokter dan kesehatan tidak siapp. Setelah usaha mati-matian dan melawan perdarahan hebat, akhirnya dokter menyerah. Malam itu juga pukul 23.15 Kepala Staf Perdana Menteri mengumumkan berpulangnya Yitshak Rabin.

Begitu ditangkap, Yigal Amir mengatakan “Tuhan menyuruh saya melakukannya. Saya tidak menyesal” pernyataan yang mengagetkan ini masih disambung dengan pernyataan-pernyataan lain yang tak kalah penuh kebencian. Seorang mahasiswa Bar Ilan menulis berita di internet “Selamat Berlibur. Si Tukang Sihir yang jahat telah mati”
Namun dengarlah apa yang dikatakan oleh salah seorang dari tiga cucunya, Noa Ben-Artzi (17), yang di ungkap dengan isak tangis yang tertahan, “…… banyaknya orang yang lebih besar daripada saya telah mengucapkan eulogi untukmu, namun tida ada yang seberuntung saya yang telah merasakan belaian tanganmu yang lembut dan pelukanmu yag hangat ataumelihat senyum kecil mu yang selalu berbicara banyak, yang kini telah tiada, membeku bersamamu …..”
Noa Ben-Artzi
Lepas dari caci maki orang-orang tertentu, toh sebahagian besar rakyat  Israel yang agaknya sudah lelah berperang lebih berpihak pada perdamaian yang dicanangkan dan diperjuangkan oleh Rabin dalam 3 tahun akhir hidupnya.
Dalam pidato terakhirnya dikatakannya, “dua puluh tujuh tahun saya menjadi tentara. Saya bertempur karena belum ada kesempatan untuk berdamai. namun kini kesempatan itu ada dan sangat besar … saya percaya sebagian rakyat (Israel) menghendaki perdamaian dan dan siap mengambil resiko untuk itu …” ternya ia sendiri yang pertama kali memberi bukti betapa besar resiko yang harus diambil demi upaya perdamaian.
Sebagian manusia menggambarkan Yitzhak Rabin sebagai pemimpm yang keras, irit kata-kata dan lugas.
Sebenarnya bukan menjadi tentara dan negarawan yang menjadi cita-cita Rabin. Lahir 1 maret 1922 ia lulus dari sekolah pertanian kadorie pada usia 15 kjtahun, karena yakin jalan terbaik untuk melayani Negaranya dengan menjadi petani. Namun gara-gara PD II, ia masuk Haganah, tentara bawah tanah Yahudi kemudian bergabung dengan palmah, sebuah pasukan elite. Tahun 1944 ia sudah menjadi wakil komandan batalion  dan  dikenal sebagai ahli strategi militer

Perjalanan hidup Pemenang Nobel Perdamain tahun 1993 bersama Shimon Peres dan Yasser Arafat
Ini bertautan erat dengan perjalanan sejarah negaranya. Ia berpatisipasi dari perang kemerdekaan,
Perang Arab-israel 1948, sampai di tahun 1964 ia di angkat menjadi kepala staf angkatan darat kemenangan besar Israel dalam perang 6 hari di tahun 1967 pun sebenarnya adalah buah strateginya yang ampuh.

No comments:

Post a Comment

Trima kasih atas Kunjungannya..... Tolong..... tinggalkan komentar/pesan agar saya dapat belajar dan belajar, sehingga kelak blog ini dapat bermanfaat.....