(25 desember 1918-6
oktober 1981)
Pesan itu disampaikan Anwar
Sadat kepada isterinya Jihan, untuk mengajak Sherif (5) cucu kesayangannya
sebelum ia berangkat menghadiri parade militer 6 oktober 1981. “dia sudah cukup
besar sekarang,” begitu kata sadat seperti tertulis di memmoar Jihan Sadat, A
Woman of Egypt (Pockets Book 1989).
Ternyata, Sheriff bersama
dengan nenek, paman dan bibinya justru harus menyaksikan sang kakek tercinta
tewas mengenaskan di tangan tentara yang begitu diibanggakannya.
Parade tahunan
memperingati keberhasilan tentara mesir melewati terusan Suez merebut wilayah
pendudukan Israel itu memang meriah. Di tengah bisingnya fly-pass akrobatik pesawat
tempur mesir. Tiba-tiba iringan truk tentara berhenti di depan panggung.
Seorang letnan meloncat ke luar dan melemparkan granat kearah presiden. Sesaat
kemudian lima tentara baret hijau lainnya menghambur keluar dari kendaraan
parade seraya memuntahkan peluru Kalashnikov. Bertubi-tubi peluru menghajar
tubuh presiden Sadat yang kemudian tewas di rumah sakit. Sedikitnya 7 pejabat
pemerintah tewas dan lebih dari 30 lainya luka-luka dalam peristiwa sadis
menggemparkan tersebut.
Sadat memang tokoh
besar. Kepergiannya justru semakin mengharumkan namanya sebagai negarawan yang
cinta damai. Dengan selimut perdamaian itu pula ia pergi, setelah sebelumnya
mencari arti damai lewat beragam perjuangan hidupnya, mlai dari tentara yang
kenyang “makan” peperangan, diplomat, dan negarawan.
Selulusnya dari akademi
militer kairo 1938, ia berjuang mengusir penjajah inggris dari bumi mesir.
Sempat ditahan inggris tahun 1942 tetapi
berhasil meloloskan diri. Setelah PD II, ia mengadaptasi kemampuan
keprajuritannya dalam perjuangan Revolusi menjatuhkan Rezim Monarki Raja Farouk
tahun 1952 untuk menjadikan negerinya republik.
Pada masa pemerintahan Presiden
Gamal Abdul Naser, Sadat pernah menduduki beberapa jabatan kunci sampai ketika Naser
meninggal 28 september 1973, Ia terpilih menjadi penggantinya.
Ditangannya secara
dramatis Mesir mengurangi ketergantungan baik dari segi keuangan maupun bantuan
militer dari uni soviet. Sebaliknya ia menjalin hubungan dengan dengan AS dan
Negara barat. Dalam rangka meneruskan kebijakan pendahulunya melawan Israel, pada
oktober 1973 ia berhasil menyeberangi terusan Suez merebut kembali daerah yang
diduduki Israel.
Anwar Sadat, Jimmy Carter dan Menachem Begin
Menyadari betapa
mahalnya harga peperangan dan akibat buruk konflik dengan Israel, Sadat mulai
berpaling kearah yang berlawanan, caranya menghisap pipa perdamaian dan hidup
berdampingan dengan Israel.
Tekad itu benar-benar
diwujudkan oleh Sadat tanggal 19-20 november 1977, ia memenuhi undangan PM
Israel Manachem Begin untuk berpidato di Knesset, parlemen Israel. Sebuah
tindakan yang tak berampun di mata kelompok fundamentalis islam di negerinya.
Toh ia tak gentar. Usaha perdamaian itu dijalaninya tanpa mengenal lelah di
tengah ancaman pihak yang tak setuju. Setelah 8 bulan berjalan, maret 1979, Sadat
dan Begin menanda tangani Perjanjian Damai di Camp David, Maryland, AS dengan
perantaraan presiden AS Jimmy Carter. Ini merupakan perdamaian yang pertama
yang terjadi antara Israel dan Negara arab.
Berkat upaya damai itu Anwar Sadat bersama rekanya Menachem Begin di Anugerahi Nobel Perdamaian, tahun yang sama. Meski dimata musuh politiknya ia dianggap sebagai pengkhianat yang harus di enyahkan.
prof premraj pushpakaran writes -- 2018 marks the 100th birth year of Muhammad Anwar el-Sadat!!!
ReplyDelete